RUANG TUNGGU
Lampu pada tulisan “Ruang Tunggu” itu mulai redup, satu-persatu sosok di dalamnya mulai melangkah keluar. Bukan meraih apa yang mereka tunggu-tunggu, melainkan melangkah keluar saja. Menyerah. Entahlah.
Aku tak kenal siapa mereka. Namun di bawah kerah kemeja sebelah kirinya tertulis “logika”. Beberapa sosok lainnya aku lupa jelasnya seperti apa, tetapi sepertinya mereka semua bersaudara. Kembar mungkin. Atau mereka semua sama?
Di sini, di ruang ini, hanya aku yang tersisa. Sendiri. Aku sempat takut dan termakan bujuk rayu mereka yang pergi lebih dahulu. Aku bukan betah duduk di sini dan menunggu, hanya saja sesuatu yang aku tunggu lebih membuatku tak betah jika aku tinggalkan.
Duduk di ruangan sebesar ini sendiri, membuatku terlihat begitu rakus. Mengenyam semua waktu sendiri. Mendengarkan alunan detak detik melalui headset, tertegun dan tertunduk. Menunggu. Menunggu pintu yang berada beberapa langkah di sebelah kiriku terbuka dan sosok di baliknya berujar, “Berikutnya.”
Pada saat itulah aku akan bangkit dari tempat duduk ini, detak detik ini tak membuatku tuli karena aku mendengarkan melalui diri sendiri. Aku akan buka pintu itu dengan lembut, menyambut siluet dengan cahaya lebih terang di depannya sehingga sosoknya tak begitu jelas terlihat. Siapa itu?
Aku begitu yakin dengan sosok itu. Benar saja, sosok itu kamu. Dan aku akan ceritakan bagaimana penunggu yang lain beranjak pergi, menyerah. Atau entah melenggang menunggu yang lain. Sebelumnya, akan kujabat tanganmu, kugenggam erat, kutatap matamu dalam-dalam.
“Oh iya. Perkenalkan, namaku hati.”
#die Null-neun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar