Sabtu, 07 Oktober 2017

oh kehidupan..

Senangnya bisa kembali ke secarik kertas ini. Kertas digital yang selalu menjadi cawan yang kemudian kutuangi ide, cerita, atau sekadar curahan hati alam bawah sadar.



Terkadang, sebenarnya bukan terkadang, tapi selalu, aku selalu heran ketika suatu rencana yang dibuat manusia bisa hancur begitu saja oleh makhluk bernama ‘takdir’. Aku pernah mendengar sebuah pernyataan dari seorang dosen berbunyi ‘semua yang terjadi pada kita 80% adalah akibat perbuatan kita, 18% kondisi, dan 2% sisanya adalah takdir’. Jika dikaji lebih dalam, persentase tadi sebenarnya seimbang karena masing-masing pengaruh materi sesuai dengan kekuatannya. Biasanya kita baru memperhatikan komposisi ini ketika keadaan tak sesuai dengan yang kita inginkan. Dan ‘takdir’, sebagai persentase terkecil selalu menjadi kambing hitam paling empuk, jika kita sudah tak bisa lagi menyalahkan kondisi dan perbuatan kita sebagai persentase yang lebih besar.

“Nila setitik, rusak susu sebelanga,” peribahasa yang bisa aku ambil untuk masalah ini. Keburukan selalu lebih kuat dari kebaikan. Namun kebaikan selalu jadi pemenangnya, bukan?

Takdir, dengan persentase yang begitu rendah, bisa menjadi faktor kuat pengubah kejadian. Kita pasti menyadari itu ketika keadaan tak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Bagaimana mungkin hanya dengan sedikit sentuhan takdir, rencana yang hampir sempurna sekali pun bisa porak-poranda? Itulah mengapa kubilang takdir itu kuat. Dengan pengaruhnya yang begitu besar, lalu, apakah kita bisa bilang takdir jahat? Jika tidak, mengapa pengaruhnya begitu besar seperti nila pada susu? Jika ya, bukankah seharusnya kebaikan yang jadi pemenangnya? Istilah ‘takdir’ diciptakan hanya agar manusia bisa menerima apa yang tak bisa dikehendakinya. Tepatnya, agar manusia punya sesuatu untuk disalahkan pada akhirnya jika kehendaknya tak terlaksana.

Takdir, juga yang mempertemukan kita, menghubungkan getaran-getaran yang pada awalnya tak terdeskripsikan, getaran yang seolah berkata “aku butuh kamu”. Hingga kita merumuskan rasa itu menjadi sebuah kebutuhan. Rasa butuh yang biasa orang sebut “sayang”. Pernah kita mengklaim diri kita tak akan berarti tanpa orang yang memenuhi kebutuhan kita. Namun pada akhirnya, kita membutuhkan orang yang paling membutuhkan kita.

Sepasang kekasih tak mungkin lagi bisa bersama kalau di antara mereka sudah tak lagi saling membutuhkan. Memang terkesan ‘memanfaatkan’, tapi itu memang sifat dasar manusia, ingin kebutuhannya dipenuhi, yang ujung-ujungnya agar merasa bahagia.

Seseorang yang membutuhkan kita bukanlah orang yang memanfaatkan kita, karena memanfaatkan berarti mengambil keuntungan dari seseorang yang sebenarnya tak terlalu kita butuhkan. Ketika menemui seseorang yang membutuhkan kita, secara langsung atau tidak, kita akan membutuhkan mereka juga. Karena tak ada artinya kelebihan kalau tak ada tempat untuk menuangkannya, seperti cintaku yang berlebih ini, kepadamu.

Menemukan seseorang yang kita butuhkan itu seperti menemukan rumah yang selama ini kita cari saat kita tersesat, karena rumah adalah tempat yang paling kita butuhkan. Kita selalu merasa aman, nyaman, tenang ketika berada di rumah. “Rumahku istanaku” terbukti bukan ungkapan omong kosong.

Pada akhirnya, kita membutuhkan orang yang ketika kita menatapnya, kita merasa seperti di rumah.

Everytime I look at you, I’m home :)

Dan itu bukan karena perbuatanku, kondisi, ataupun takdir, melainkan ketiganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar