TOPENG BERDEBU
Oleh: Briliandhika
Oleh: Briliandhika
Ku berjalan di sebuah lorong gelap tak berujung. Disamping kiri kananku terdapat banyak loker. Ada yang besar ada juga yang kecil. Disetiap loker ada nama-nama orang yang aku kenal. Di dinding lorong itu terpampang banyak lukisan. Cat-cat pada lukisan itu terlihat jelas. Penuh warna. Dijalan menuju lorong yang lain, penuh dengan suara. Suara itu mengganggu. Gaduh. Berisik. Tapi aku tersadar bahwa suara itu menginginkan sesuatu. Ada yang menggeram marah, jeritan tangis, dan ada juga yang meronta-ronta tak jelas. Semua itu tak membuatku takut, karena aku telah terbiasa akan itu.
Ku meneruskan jalannya kakiku. Lelah ? Tidak. Karena ini memang harus kuambil. Tak terdengar suara-suara aneh itu lagi, mungkin aku sudah jauh atau mereka yang menghilang begitu saja? Entahlah. Kini lorong gaduh itu terdengar sangat sunyi. Hening. Tak bersuara. Hanya nafas dan jalannya kakiku yang terdengar jelas. Dapat dipastikan hanya aku disana. Sendirian...
Akhirnya sampai. Aku berdiri tepat didepan sebuah pintu usang. Tak begitu besar. Pintu itu dengan jelas menampakkan dirinya. Ku buka pelan pintu tersebut. 'Ngeeeeeeekkk' terdengar suara engsel berkaratnya. Aku pun masuk.
Aku masuk di sebuah ruangan besar. Besar sekali. Tapi kosong hanya ada sebuah lemari tua didalamnya. Lemari itu polos tidak ada ukiran yang menghiasi badan lemari. Bercat coklat pekat tetapi sudah agak pudar. Memiliki dua pintu dengan engsel berada dikiri dan dikanan sisi lemari. Aku berjalan mendekati lemari tersebut.
Aku membukanya dengan tenaga. Terdapat banyak sekali benda berukiran wajah didalam lemari.
Topeng.
Topeng itu berjajar-jajar. Rapi sekali. Hampir puluhan oh tidak, mungkin ratusan topeng tertata disana.
Tapi topeng-topeng itu unik. Masing-masing memiliki raut dan mimik yang berbeda-beda. Ada yang marah, gelisah, sedih, bahagia, cemburu, malu, bingung, canggung, takut dan masih banyak lagi. Semuanya berbaris rapi disana.
Topeng-topeng itu selain tertata dengan rapi mereka juga tak berdebu. Mengkilat. Seperti baru di cuci dan dicat ulang. Aku memperhatikan. Kepalaku bergerak dari kiri ke kanan yang terus mengikuti mataku yang melihat mereka satu persatu. Eh tunggu sebentar. Mataku tertuju pada sebuah topeng di pojok kanan rak paling bawah lemari.
Kusipitkan mata dengan sedikit memajukan kepala. Apa itu? Ini aneh. Ada sebuah topeng yang penuh debu. Tak terawat. Seperti mobil yang ditinggal pemiliknya bertahun-tahun. Aku hafal betul semua topeng yang ada didalam lemari tapi kenapa aku tak mengingat topeng yang satu ini? Aku mendekati topeng itu dan duduk jongkok di depannya. Melihat sebentar. Mengamati sudut demi sudut topeng berdebu itu. Tapi aku tak bisa menahan rasa penasaranku. Ku ambil topeng itu dengan tangan kananku.
Rasanya aneh. Tanganku terasa licin memegangnya. Ku bolak balikan topeng tersebut. Mengamati apakah aku pernah mengenalmu. Ku tarik udara panjang lalu ku tiupkan pelan agar mataku tak kelilipan karena tiupanku sendiri. Perlahan topeng itu menunjukkan jati dirinya. Perlahan debu debu itu berterbangan di depan wajahku. Ku sipitkan mataku lagi. Berharap debu debu itu segera pergi agar aku dapat dengan jelas melihatnya. Aku pun terkejut.
Aneh. Topeng itu tak memiliki pola. Datar. Nyaris tanpa ekspresi. Lebih anehnya lagi topeng itu transparan. Tidak bercat. Hanya bening sebening air. Seperti kaca atau mungkin plastik. Aku bisa melihat tangan kananku menggenggam topeng itu dari muka depan. Aku tak ingat pernah memilikinya. Ini janggal. Kenapa ada topeng yang transparan? Lalu apa gunanya sebuah topeng jika terbuat dari bahan transparan?
Mataku ku tutup sejenak. Mengingat dan mereka-reka seperti siswa yang mencoba mengingat suatu rumus rumit fisika. Terus mengingat. Mengacak-ngacak sudut demi sudut bagian otak. Berpikir. Zuutt.. sekejap mataku terbuka. Ingat. Aku mengingatnya.
Kini topeng yang kugenggam itu ku tatap dalam. Lebih dalam dari sebelumnya. Seperti ada jurang didepanku, dan aku tak tahu harus berbuat apa selain menatapnya dalam. Ada hening yang lumayan lama. Otakku berputar-putar. Bukan kuputar tapi berputar sendiri. Mataku perlahan berubah menjadi kaca. Kelopak mataku layaknya bendungan. Terus menahan sesuatu agar tak bocor. Kenapa aku bisa melupakanmu. Kutaruh topeng yang sudah tak berdebu itu kembali.
Sekarang topeng itu berada di tempatnya. Tempat yang membuatnya berdebu. Aku berdiri. Dan mulai memilih topeng apa yang akan kubawa sekarang. Memang dari awal tujuanku adalah memilih beberapa topeng yang ada disini untuk kubawa kembali. Tapi mataku tak bisa berbohong. Mataku tetap saja memikirkan topeng berdebu itu.
Ku ambil tas kecil di sebelah lemari. Ku pilih satu demi satu dari ratusan topeng yang ada dihadapanku. Pandanganku terus berganti-ganti. Bingung. Ada begitu banyak topeng disini. Kupilih beberapa topeng untuk hari ini. Ingin ku bawa topeng berdebu itu juga tapi aku tak bisa. Bukan tak bisa mungkin aku tak cukup berani untuk memakainya.
Beberapa topeng itu telah berada ditas sekarang. Perlahan aku tutup kembali lemari tua itu. Sambil menutupnya aku mengintip rak kanan paling bawah. Ya. Topeng itu masih berada ditempatnya. Aku masih ingin memandanginya. Aku sadar. Sambil menutup pintu lemari itu. Topeng berdebu itu seolah-olah melihatku dengan sinis. 'Kapan kamu membawaku' mungkin itu yang mau ia ucapkan.
Pintu lemari sudah tertutup. Langkahku menjauhinya. Ku tinggalkan topeng itu. Lemari itu. Dan ruangan besar ini. Lagi. Setiap hari kulakukan sambil membawa tas berisi beberapa topeng. Setelah keluar dari ruangan. Aku mengguncingkan alis dan menghela nafas. 'Hh sampai kapan aku melakukan hal membosankan seperti ini'.
Ku telusuri lorong panjang itu lagi. Langkahku terdengar. Mungkin setelah ini suara-suara aneh itu juga terdengar kembali. Tebakanku tepat. 'Sampai kapan membawa topeng-topeng tak berguna itu !? Ha ha ha' terdengar salah satu suara dari ribuan suara yang ada. Sangat keras. Langkahku berhenti. Bukannya kaget tapi hanya ingin merenung sejenak. Lalu kupercepat langkahku menjauhinya. Aku ingin sesegera mungkin keluar.
Akhirnya..
Aku telah keluar.
Setiap hari kulakukan ini semua. Memasuki lorong itu, mengambil topeng lalu kembali. Tanpa lorong itu hidup ini jadi tak berarti. Aku biasa menyebut lorong itu sebagai lorong 'hati'.
Lalu loker dan lukisan itu.. adalah sesuatu yang pernah ada tetapi kini sudah tak ada, nama-nama yang terpampang di depannya adalah nama orang-orang yang spesial yang dulunya pernah membuatku senang dan bahagia.
Dan mungkin suara-suara itu adalah suara hati itu sendiri yang sebenarnya menginginkan sesuatu tetapi tak bisa atau mungkin belum bisa. Masih terkurung disana tak bisa keluar.
Dan topeng-topeng ini..
Adalah alatku untuk emm mungkin untuk mereka. Orang-orang yang tidak tahu kebenarannya. Orang-orang yang tak bisa merasakan sakitnya. Orang-orang yang mungkin tak peduli, atau tak harus peduli. Orang-orang yang disaat aku merasa terpuruk lalu kubilang 'aku tak apa' ketika mereka bertanya lalu mereka pergi begitu saja. Bagaimana bisa mereka pergi begitu saja tanpa melihat guratan bekas air mata ini?
Kukenakan tiap hari, aku takut ketika kubuka topeng ini mereka tak bisa memberi jalan keluarnya akan masalah yang sedang kuhadapi. oh bukan jalan keluar, tapi pengertian lebih tepatnya. Maka kuputuskan untuk memakainya saja.
Dan terakhir adalah topeng berdebu itu. Topeng dengan ukiran datar dan trasparan. Aku ingat ketika pertama kali kupakai. Rasanya bebas tak ada beban. Mungkin topeng itu mencoba mengajarkanku untuk tidak memakai topeng. Melepas semua beban dan tersenyum mensyukuri semuanya.
Aku ingin mengambil dan memakainya sewaktu-waktu. Mengatakan pada semuanya bahwa ini aku yang sebenarnya.
atau
Aku ingin menaruh dan sengaja membuatnya berdebu kembali.
-Penulis-
Terkadang kita, para manusia yang disebut sebagai makhluk sosial adalah pembunuh terbesar dan terhebat akan pernyataan sosial sendiri. Karena kata 'sosial' itu sendiri dapat menjadikan kita lebih sombong, congkak, pelit, acuh, tak berempati, dan masih banyak lagi. Manusia diciptakan untuk saling memahami bukan malah saling menyakiti.
Dalam hidup pasti memiliki masalah. Besar maupun kecil yang disebut masalah tetap saja menjadi masalah. Dan terkadang manusia butuh seorang yang spesial untuk menjadi obat dari masalah. Dan akupun sekarang mendapatkannya,
Manusia itu rakus. tidak pernah puas akan sesuatu. Juga tak pandai bersyukur. Wajar itu manusiawi. Akupun merasakannya,
Topeng adalah salah satu cara untuk menutupi rasa ketidakpuasan itu sendiri. Senyuman sampai tertawa palsupun dibuat untuk menutup erat semuanya. Ada ketakutan saat membuka topeng itu, 'apa yang terjadi? apa mereka atau kamu yang disana menolaknya? atau menerima semuanya?' apakah dari semua ini benar pernyataan 'aku bahagia ketika melihat mereka atau kamu bahagia' ? Bukankah manusia itu makhluk ter-egois yang pernah ada?
Hubungan antar manusia satu dengan yang lainpun serumit rumus fisika ehh..bukan serumit, malah lebih rumit, lebih dalam, lebih spesifik daripada rumus-rumus terumit, terdalam, dan terspesifik di dunia ini. Lalu apa yang dibutuhkan manusia? akupun mengalaminya,
Kita secara manusiawi akan bercerita masalah kepada orang yang sepatutnya kita percayai sebagai penampung masalah hidup kita. Tapi apakah mereka semua benar? Ocehan-ocehan kita dibalas dengan nasehat-nasehat penuh motivasi mereka. Hanya saja hati ini bukan hati seorang motivator atau penasehat negara. Hati ini bukan diciptakan untuk menerima nasehat. Bukankah itu semua tugas otak dan logika yang menerimanya. Kenapa hati selalu dinasehati bukan dimengerti? Kenapa hati selalu diacuhkan oleh topeng-topeng palsu itu? Kenapa hati serumit ini?.
"ketika hati berkata bahwa dia tidak mau berkata, maka hanya topeng ini yang dapat bertahta"
#die Null-neun
Aku membukanya dengan tenaga. Terdapat banyak sekali benda berukiran wajah didalam lemari.
Topeng.
Topeng itu berjajar-jajar. Rapi sekali. Hampir puluhan oh tidak, mungkin ratusan topeng tertata disana.
Tapi topeng-topeng itu unik. Masing-masing memiliki raut dan mimik yang berbeda-beda. Ada yang marah, gelisah, sedih, bahagia, cemburu, malu, bingung, canggung, takut dan masih banyak lagi. Semuanya berbaris rapi disana.
Topeng-topeng itu selain tertata dengan rapi mereka juga tak berdebu. Mengkilat. Seperti baru di cuci dan dicat ulang. Aku memperhatikan. Kepalaku bergerak dari kiri ke kanan yang terus mengikuti mataku yang melihat mereka satu persatu. Eh tunggu sebentar. Mataku tertuju pada sebuah topeng di pojok kanan rak paling bawah lemari.
Kusipitkan mata dengan sedikit memajukan kepala. Apa itu? Ini aneh. Ada sebuah topeng yang penuh debu. Tak terawat. Seperti mobil yang ditinggal pemiliknya bertahun-tahun. Aku hafal betul semua topeng yang ada didalam lemari tapi kenapa aku tak mengingat topeng yang satu ini? Aku mendekati topeng itu dan duduk jongkok di depannya. Melihat sebentar. Mengamati sudut demi sudut topeng berdebu itu. Tapi aku tak bisa menahan rasa penasaranku. Ku ambil topeng itu dengan tangan kananku.
Rasanya aneh. Tanganku terasa licin memegangnya. Ku bolak balikan topeng tersebut. Mengamati apakah aku pernah mengenalmu. Ku tarik udara panjang lalu ku tiupkan pelan agar mataku tak kelilipan karena tiupanku sendiri. Perlahan topeng itu menunjukkan jati dirinya. Perlahan debu debu itu berterbangan di depan wajahku. Ku sipitkan mataku lagi. Berharap debu debu itu segera pergi agar aku dapat dengan jelas melihatnya. Aku pun terkejut.
Aneh. Topeng itu tak memiliki pola. Datar. Nyaris tanpa ekspresi. Lebih anehnya lagi topeng itu transparan. Tidak bercat. Hanya bening sebening air. Seperti kaca atau mungkin plastik. Aku bisa melihat tangan kananku menggenggam topeng itu dari muka depan. Aku tak ingat pernah memilikinya. Ini janggal. Kenapa ada topeng yang transparan? Lalu apa gunanya sebuah topeng jika terbuat dari bahan transparan?
Mataku ku tutup sejenak. Mengingat dan mereka-reka seperti siswa yang mencoba mengingat suatu rumus rumit fisika. Terus mengingat. Mengacak-ngacak sudut demi sudut bagian otak. Berpikir. Zuutt.. sekejap mataku terbuka. Ingat. Aku mengingatnya.
Kini topeng yang kugenggam itu ku tatap dalam. Lebih dalam dari sebelumnya. Seperti ada jurang didepanku, dan aku tak tahu harus berbuat apa selain menatapnya dalam. Ada hening yang lumayan lama. Otakku berputar-putar. Bukan kuputar tapi berputar sendiri. Mataku perlahan berubah menjadi kaca. Kelopak mataku layaknya bendungan. Terus menahan sesuatu agar tak bocor. Kenapa aku bisa melupakanmu. Kutaruh topeng yang sudah tak berdebu itu kembali.
Sekarang topeng itu berada di tempatnya. Tempat yang membuatnya berdebu. Aku berdiri. Dan mulai memilih topeng apa yang akan kubawa sekarang. Memang dari awal tujuanku adalah memilih beberapa topeng yang ada disini untuk kubawa kembali. Tapi mataku tak bisa berbohong. Mataku tetap saja memikirkan topeng berdebu itu.
Ku ambil tas kecil di sebelah lemari. Ku pilih satu demi satu dari ratusan topeng yang ada dihadapanku. Pandanganku terus berganti-ganti. Bingung. Ada begitu banyak topeng disini. Kupilih beberapa topeng untuk hari ini. Ingin ku bawa topeng berdebu itu juga tapi aku tak bisa. Bukan tak bisa mungkin aku tak cukup berani untuk memakainya.
Beberapa topeng itu telah berada ditas sekarang. Perlahan aku tutup kembali lemari tua itu. Sambil menutupnya aku mengintip rak kanan paling bawah. Ya. Topeng itu masih berada ditempatnya. Aku masih ingin memandanginya. Aku sadar. Sambil menutup pintu lemari itu. Topeng berdebu itu seolah-olah melihatku dengan sinis. 'Kapan kamu membawaku' mungkin itu yang mau ia ucapkan.
Pintu lemari sudah tertutup. Langkahku menjauhinya. Ku tinggalkan topeng itu. Lemari itu. Dan ruangan besar ini. Lagi. Setiap hari kulakukan sambil membawa tas berisi beberapa topeng. Setelah keluar dari ruangan. Aku mengguncingkan alis dan menghela nafas. 'Hh sampai kapan aku melakukan hal membosankan seperti ini'.
Ku telusuri lorong panjang itu lagi. Langkahku terdengar. Mungkin setelah ini suara-suara aneh itu juga terdengar kembali. Tebakanku tepat. 'Sampai kapan membawa topeng-topeng tak berguna itu !? Ha ha ha' terdengar salah satu suara dari ribuan suara yang ada. Sangat keras. Langkahku berhenti. Bukannya kaget tapi hanya ingin merenung sejenak. Lalu kupercepat langkahku menjauhinya. Aku ingin sesegera mungkin keluar.
Akhirnya..
Aku telah keluar.
Setiap hari kulakukan ini semua. Memasuki lorong itu, mengambil topeng lalu kembali. Tanpa lorong itu hidup ini jadi tak berarti. Aku biasa menyebut lorong itu sebagai lorong 'hati'.
Lalu loker dan lukisan itu.. adalah sesuatu yang pernah ada tetapi kini sudah tak ada, nama-nama yang terpampang di depannya adalah nama orang-orang yang spesial yang dulunya pernah membuatku senang dan bahagia.
Dan mungkin suara-suara itu adalah suara hati itu sendiri yang sebenarnya menginginkan sesuatu tetapi tak bisa atau mungkin belum bisa. Masih terkurung disana tak bisa keluar.
Dan topeng-topeng ini..
Adalah alatku untuk emm mungkin untuk mereka. Orang-orang yang tidak tahu kebenarannya. Orang-orang yang tak bisa merasakan sakitnya. Orang-orang yang mungkin tak peduli, atau tak harus peduli. Orang-orang yang disaat aku merasa terpuruk lalu kubilang 'aku tak apa' ketika mereka bertanya lalu mereka pergi begitu saja. Bagaimana bisa mereka pergi begitu saja tanpa melihat guratan bekas air mata ini?
Kukenakan tiap hari, aku takut ketika kubuka topeng ini mereka tak bisa memberi jalan keluarnya akan masalah yang sedang kuhadapi. oh bukan jalan keluar, tapi pengertian lebih tepatnya. Maka kuputuskan untuk memakainya saja.
Dan terakhir adalah topeng berdebu itu. Topeng dengan ukiran datar dan trasparan. Aku ingat ketika pertama kali kupakai. Rasanya bebas tak ada beban. Mungkin topeng itu mencoba mengajarkanku untuk tidak memakai topeng. Melepas semua beban dan tersenyum mensyukuri semuanya.
Aku ingin mengambil dan memakainya sewaktu-waktu. Mengatakan pada semuanya bahwa ini aku yang sebenarnya.
atau
Aku ingin menaruh dan sengaja membuatnya berdebu kembali.
-Penulis-
Terkadang kita, para manusia yang disebut sebagai makhluk sosial adalah pembunuh terbesar dan terhebat akan pernyataan sosial sendiri. Karena kata 'sosial' itu sendiri dapat menjadikan kita lebih sombong, congkak, pelit, acuh, tak berempati, dan masih banyak lagi. Manusia diciptakan untuk saling memahami bukan malah saling menyakiti.
Dalam hidup pasti memiliki masalah. Besar maupun kecil yang disebut masalah tetap saja menjadi masalah. Dan terkadang manusia butuh seorang yang spesial untuk menjadi obat dari masalah. Dan akupun sekarang mendapatkannya,
Manusia itu rakus. tidak pernah puas akan sesuatu. Juga tak pandai bersyukur. Wajar itu manusiawi. Akupun merasakannya,
Hubungan antar manusia satu dengan yang lainpun serumit rumus fisika ehh..bukan serumit, malah lebih rumit, lebih dalam, lebih spesifik daripada rumus-rumus terumit, terdalam, dan terspesifik di dunia ini. Lalu apa yang dibutuhkan manusia? akupun mengalaminya,
Kita secara manusiawi akan bercerita masalah kepada orang yang sepatutnya kita percayai sebagai penampung masalah hidup kita. Tapi apakah mereka semua benar? Ocehan-ocehan kita dibalas dengan nasehat-nasehat penuh motivasi mereka. Hanya saja hati ini bukan hati seorang motivator atau penasehat negara. Hati ini bukan diciptakan untuk menerima nasehat. Bukankah itu semua tugas otak dan logika yang menerimanya. Kenapa hati selalu dinasehati bukan dimengerti? Kenapa hati selalu diacuhkan oleh topeng-topeng palsu itu? Kenapa hati serumit ini?.
"ketika hati berkata bahwa dia tidak mau berkata, maka hanya topeng ini yang dapat bertahta"
#die Null-neun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar